go to my world

Wellcome to my world

Kamis, 14 Juli 2011


ASPEK KLINIS SINDROM ANTIFOSFOLIPID PADA KEHAMILAN
(ref. Dr. Ahmad Ferianto)


 I.   PENDAHULUAN
      Banyak hal yang dapat menyebabkan gagalnya suatu kehamilan sehingga terjadi suatu keguguran atau gagal mencapai suatu maturitas atau janin dilahirkan sementara belum dapat bertahan hidup di luar kandungan. Di Amerika dicatat kejadian keguguran berulang mengenai 500.000 wanita pertahun1 atau 1 % dari wanita hamil.2
                Pada umumnya sebanyak 25 % dari seluruh kehamilan pertama akan berakhir dengan keguguran.11,3 Dari penyebab terbesar ini yaitu masalah prokoagulan didapat kelainan oleh sindroma antifosfolipid (SAF) sebesar 67 %, sticky platelet syndrome sebesar 21 %, defisiensi activator plasminogen sebesar 9 % dan penyebab yang lainnya masing-masing di bawah 7 %.3 Data ini menunjukan bahwa sindroma antifosfolipid memegang peranan yang paling besar sebagai penyebab kegagalan suatu kehamilan.1 Sumber lain mencatat bahwa 15-40 % wanita yang mengalami keguguran berulang mempunyai antibodi antikardiolipin atau lupus antikoagulan.2 Jika seorang wanita mengalami keguguran untuk yang pertama kalinya terutama pada kehamilan, maka 90 % pada kehamilan < 8 minggu disebabkan oleh kelainan kromosom, dan jika mengalami keguguran berulang kali maka penyebabnya 7 % kelainan kromosom, 10-15 % karena kelainan anatomi, 15 % karena kelainan hormonal (progesteron, estrogen, diabetes atau penyakit tiroid), 6 % tidak dapat dijelaskan dan sebagian besar yaitu 55-62 % disebabkan karena kelainan pembekuan darah atau defek trombosit yang menyebabkan trombosis dan infark pembuluh darah plasenta.
            Perhatian pada SAF ini ini bermula pada penemuan antikoagulan lupus pada kira-kira 10 % penderita lupus sistemik pada tahun 1952 dan segera setelah itu diketahui adanya antikoagulan lupus tidak seperti namanya malah berhubungan dengan kejadian trombosis bukannya perdarahan.4,5,6,7,8 Dari penelitian berikutnya didapatkan suatu hal yang sangat penting yaitu bahwa antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus berhubungan dengan trombosis dan tromboemboli sistem vena dan arteri, keguguran berulang dan trombositopenia.5,6,9
                Sesuai dengan kriteria Sapporo mengenai SAF maka pengobatan yang dianggap rasional adalah melakukan terapi prevensi dan kuratif dengan pemberian antiagregasi trombosit dan antikoagulan .1010 Beberapa regimen lain seperti aspirin dosis rendah, kortikosteroid, immunoglobulin intravena atau antibiotika siprofloksasin juga pernah dicoba sebagai terapi.10 Meskipun masih kontroversial,warfarin tidak dianjurkan untuk digunakan pada kehamilan dengan sindroma antifosfolipid karena dapat melewati sawar plasenta dan dapat menyebabkan kelainan pada janin. Heparin tidak melewati sawar plasenta sehingga dianngap aman digunakan pada kehamilan untuk mencegah pembentukan trombemboli vaskuler.
            Karena pemakaiannya yang aman dalam kehamilan dan effektifitasnya yang tinggi untuk menghantar suatu kehamilan dengan SAF untuk melahirkan bayi yang viable maka heparin banyak diusulkan untuk digunakan sebagai terapi.Penggunaan heparin sebagai terapi SAF dalam kehamilan dapat meningkatkan keberhasilan sampai tercapainya kehamilan aterm yaitu sebesar 73 % pada pemakaian UFH dan 88 % pada pemakaian LMWH.10

II.  SINDROMA ANTIFOSFOLIPID DALAM BIDANG OBSTETRI

      Sindroma antifosfolipid merupakan suatu defek yang sebagian besar bersifat didapat bukan bawaan yang terdiri dari 2 sindroma klinik yang berhubungan erat tapi jelas berbeda yang sindroma trombosis antikoagulan lupus  dan sindroma trombosis antibodi antikardiolipin.5,6 Sekalipun keduanya serupa tetapi terdapat perbedaan yang jelas dalam hal klinis, laboratorium, perbedaan biokimia terutama mengenai prevalensi, penyebab, kemungkinan mekanisme, presentasi klinis dan penanganannya.5,6 Antibodi antifosfolipid dalam sindroma ini dapat dideteksi dengan reaktifitasnya terhadap fosfolipid anion (atau kompleks protein-fosfolipid) dalam pemeriksaan dengan immunoassays atau dengan inhibisinya terhadap reaksi koagulasi yang bergantung pada fosfolipid yang dikenal sebagai efek lupus antikoagulan.9
            Sindroma antibodi antikardiolipin 5 kali lebih sering terjadi dibandingkan dengan sindroma antikoagulan lupus.5,6 Sindroma antikoagulan lupus sekalipun kadang-kadang berhubungan juga dengan penyakit arteri, lebih sering dihubungkan dengan trombosis vena.5,6 Antibodi antifosfolipid ini mengenai pembuluh darah dari semua ukuran.9
            Sindroma antifosfolipid sebenarnya bermanifestasi dalam berbagai macam gejala klinis seperti keadaan hiperkoagulasi,trombositopenia, keguguran berulang, dementia yang muncul lebih dini, stroke, perubahan optik, penyakit Addison dan ruam kulit.7,12,20
            Sindroma antifosfolipid terdiri dari dua golongan yaitu primer dan sekunder.6,13 Yang primer sifatnya genetik dan tidak mempunyai dasar kelainan medis. Yang sekunder didapati pada pasien yang mempunyai dasar kelainan medis seperti pada penderita keganasan, immune thrombocytopenia purpura, leukemia, infeksi seperti sifilis, tuberkulosa, dan AIDS dan pada pasien yang mengkonsumsi obat-obatan seperti; Klorpromazin, dilantin, fansidar, hidralazin, kinidin, kinin fenotiazin, kokain, prokainamid, fenitoin, dan alfa interferon.5,6,13

Epidemiologi

            Pada suatu penelitian pada donor darah ditemukan bahwa sebanyak 8 % orang sehat tanpa kelainan apapun mengandung antifosfolipid dalam titer rendah dan paling umum terjadi pada wanita muda, yang disebut bentuk primer.5,13,20 Bentuk lain terjadi bila ada kelainan yang mendasari, seperti sebanyak 30-50 % pasien dengan SLE mempunyai antibody antifosfolipid dan sampai dengan 30 % pasien dengan HIV juga akan berkembang mempunyai antibody tersebut meskipun biasanya tidak menyebabkan trombosis.20 Penelitian pada pasien yang mengalami abortus spontan berulang, ditemukan antibody antifosfolipid ini sebanyak 15 %13 sedangkan penelitian lain mendapatkan angka 21 %. Borreli et al menemukan bahwa 60 % pasien dengan keguguran habitualis yang tak dapat dijelaskan menderita sindroma antifosfolipid.1 Lockwood dkk (1989) mempelajari737 wanita hamil yang normal tanpa riwayat keguguran berulang dan mendapati bahwa 0,27 % diantaranya mempunyai antikoagulan lupus dan 2,2 % mempunyai antibodi antikardiolipin Ig G atau Ig M yang meningkat.8 Harris dan Spinato mempelajari 1449 wanita yang dapat hamil berturut-turut dan mendapati 1,8 % nya yang mempunyai antibodi antikardiolipin Ig G dan 4,3 % nya untuk antikardiolipin Ig M.8 Pada wanita-wanita yang mempunyai antibody antifosfolipid, 80 % diantaranya pernah mengalami keguguran paling sedikit 1 kali keguguran.11,3 Jika dihubungkan dengan penyebab fertilitas saja maka sindroma antifosfolipid ini mempunyai andil sebesar 30 %.
      Welsch dan Branch menemukan bahwa bila ditemukan antibody antikardiolipin Ig M tanpa Ig G atau antikoagulan lupus maka signifikansinya secara klinis diragukan, sebaliknya Ig G merupakan penentu hasil akhir suatu kehamilan.3 Bila pada seorang wanita ditemukan antibodi antikardiolipin sebesar 40 unit GPL atau kurang maka kejadian kematian janin sebesar dibawah 20 % sedangkan bila ditemukan > 80 unit GPL maka kematian janin mendekati 40 %.12 Lebih 80 % wanita dengan riwayat kematian janin sebelumnya dan dengan kadar antibody antikardiolipin Ig G > 80 unit GPL akan mengalami kematian janin pada kehamilan berikutnya jika tidak di terapi.12 Wanita yang mempunyai antibody antikardiolipin mempunyai kemungkinan untuk untuk mengalami kegagalan kehamilan sebesar 50-70 % dan jika diberi terapi antikoagulan dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan sampai hamil aterm sampai 80 %.5

Tabel 1.  Frekuensi antibody antifosfolipid pada pasien dengan kegagalan kehamilan berulang dan pada kontrol15

Peneliti
Antikoagulan lupus
Antikardiolipin Ig G
Total
RPL (%)
Kontrol(%)
RPL (%)
Kontrol(%)
RPL (%)
Kontrol(%)
Petri
4/44(9)
0/40(0)
5/44(11)
1/40(2)
7/44(16)
1/40(2)
Berbui**
7/40(14)
0/141(0)
4/49(8)
0/141(0)
7/49(14)
0/141(0)
Parazzini**
16/220(7)
0/193(0)
11/99(11)
4/157(3)
10/99(10)
4/157(3)
Parke
4/81(5)
4/88(5)
6/81(7)
0/88(0)
8/81(10)
4/88(5)
Out***
5/102(50)
-
8/102(8)
2/102(2)
11/102(11)
-
Median %
(7)
(0)
(8)
(2)
(11)
(2,5)

RPL = Recurrent Pregnancy Loss
**    = Dengan 2 kegagalan kehamilan berturut-turut,penyebab lain disingkirkan
***  = Dengan 3 kegagalan kehamilan berturut-turut pada Trimester I atau paling sedikit kematian janin yang tak dapat dijelaskan setelah usia gestasi > 12 minggu




III.  PATOGENESIS SINDROMA ANTIFOSFOLIPID
A.    Imunopatogenesis SAF
Hingga saat ini terdapat hipotesis yang menjelaskan peran langsung autoantibodi dalam patogenesis sindroma antifosfolipid , yaitu :25
a)Antibodi pada SAF merupakan target protein plasma atau komponen membran permukaan sel yang terpapar langsung dengan antibodi dalam sirkulasi darah.
b)      Antigen tersebut terlibat dalam reaksi hemostatik dan trombotik pada permukaan sel endotel vaskuler,trombosit dan komponen sel darah lain.
c)Transfer imunoglobulin secara pasif pada binatang percobaan dapat menyebabkan terjadinya SAF.
d)                             Adanya antibodi antifosfolipid berhubungan dengan serangan pertama trombosis
e)      Manisfestasi klink yang terjadi pada SAF berhubungan dengan kadar antibodi antifosfolipid.

Antibodi antifosfolipid dapat menimbulkan hambatan reaksi antikoagulan dan fibrinolisis, sehingga dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas dan trombosis. Mekanisme kejadian tersebut hingga saat ini masih belum jelas dan diduga melalui :25
a)      Penghambatan produksi prostasiklin melalui peningkatan pembentukan antifosfolipase-A2.
b)      Penghambatan jalur protein C melalui peningkatan resistensi protein C sehingga terjadi defisiensi protein C; penghambatan ini dapat pula terjadi disebabkan oleh peningkatan otoantibodi antitrombodulin, Antiprotein C antitrombin atau penghambatan degradasi faktor koagulasi Va.
c)      Penghambatan aktivasi antitrombin III yang disebabkan oleh peningkatan aktivitas anti-HSPG dan anti β2-PI.
d)     Perangsangan aktivitas antikoagulan β2-GPI akan menyebabkan hambatan produksi serotonin oleh aktifasi trombosit ADP-induced, menghambat aktifitas protombinase, serta menghambat pembentukan faktor X oleh sel trombosit.
e)      Mempengaruhi membran fosfolipid sel trombosit yang menyebabkan aktivasi trombosit.
f)       Mempengaruhi aktivasi prekalikrein dalam pembentukan kalikrein.
g)                              Mempengaruhi pengeluaran activator plasminogen sel endothelial.
h)      Peningkatan homosistein pada kadar ACA dan CLA tinggi dapat merusak sel endothelial dan memacu proses trombosis.

Berbeda dengan terjadinya proses agregasi trombosit lainnya, antibodi antikardiolipin dapat secara langsung menimbulkan reaksi agregasi trombosit tanpa adanya kerusakan permukaan sel endhotel yang diduga terjadi melalui peningkatan sensitifitas sel trombosit sehingga antibodi AFL dapat melekat pada membran permukaan fosfolipid atau melalui peningkatan produksi tromboksan dan faktor perangsangan (activating factor) dari sel trombosit.

B.     Perubahan Plasenta pada SAF
Dalam klasifikasi sindroma antifosfolipid, morbiditas obstetric disebabkan secara langsung dan tidak langsung oleh aktivitas antibodi AFL dan pembentukan trombosis pada pembuluh plasenta. Walaupun pada saat ini belum ditemukan gambaran histopatologik spesifik pada embrio atau janin yang mengalami kematian akibat antibodi AFL, pengamatan perubahan plasenta pada kematian janin akibat antibodi SAF menunjukan adanya vaskulopati arteri spirales, infark plasenta, atau kombinasi keduanya. Perubahan plasenta pada penderita sindroma AFS tersebut akan mengakibatkan insufisiensi plasenta yang akan diikuti dengan keadaan hipoksia yang akan menyebabkan kematian janin.
      Dasar patogenesis perubahan pada plasenta dapat berupa :25
a)      Secara imunohistokimia, antifosfolipid Ig G akan menyebabkan berkurangnya Jumlah annexin V pada permukaan apical villi khoriales dari plasenta dengan pertumbuhan janin terhambat sehingga terjadi penurunan antikoagulan yang akan merangsang terjadinya trombosis sehingga terjadi gangguan fungsi uteroplasenter.
b)      Terbentuknya trombosis dapat menutup lumen pembuluh uteroplasenter sebagian atau seluruhnya; ditemukan pula peningkatan deposit fibrin atau fibrinoid pada permukaan trofoblas villi membentuk kalsifikasi plasenta. Kejadian oklusi total/partial dan kalsifikasi ini dapat menghambat aliran darah uteroplasenter gangguanfungsi nutrisi dan respirasi dengan akibat pertumbuhan janin terhambat, gawat janin hingga kematian janin.
c)      Gambaran histopatologik kerusakan pembuluh plasenta dan villi dapat berupa hematoma retroplasenter, peningkatan jumlah simpul sinsitia, nekrosis sel trofoblas, serta hipovaskularisasi villi merupakan gambaran kelainan pada sindroma antifosfolipid dengan penyulir preeklampsia.
d)     Pada plasenta dengan kematian janin intrauterine dengan antibodi antifosfolipid ditemukan penurunan membran vaskulo-sinsitial, fibrosis pada daerah infark disertai gambaran hipovaskuler villi dan trombosis serta pertambahan jumlah simpul sinsitial yang dihubungkan dengan proses hipoksia kronik.
e)      Pada daerah avaskuler atau hipovaskuler villi plasenta dapat dijumpai penebalan stroma yang disertai dengan endovaskulitik hemoragik; antibodi antifosfolipid intraplasenta menyebabkan peningkatan konsentrasi laminin dan kolagen tipe-IV yang membentuk membran stroma villi, meskipun tanpa disertai perubahan konsentrasi molekul pelekat sel (Cell Adhesion Molecule/CAM, baik platelet endhotelial CAM/PECAM, Intercellular CAM-1/ICAM-1, maupun Vascular CAM-1/VCAM-1).
f)       Kerusakan jaringan plasenta yang luas akibat peningkatan antibody antifosfolipid dan menyebabkan perubahan rasio tromboksan-prostasiklin dan memicu aktivitas siklooksigenase-2 (cox-2) pada sel endotel. Sehingga menimbulkan meningkatkan proses agregasi trombosit, penampilan gejala preeklampsia dan memicu proses persalinan preterm.

IV.      DIAGNOSIS SINDROM ANTIFOSFOLIPID PADA KEHAMILAN

Pada suatu pertemuan internasional di Sapporo Jepang pada tahun 1998 telah diputuskan berdasarkan konsensus bahwa definisi sindroma antifosfolipid adalah suatu kelainan dimana ditemukannya gejala trombosis vaskuler dan atau morbiditas obstetric yang disertai adanya antikardiolipin dan atau antikoagulan lupus.2121 Hasil konsensus menyatakan sindroma antifosfolipid dianggap terjadi apabila terdapat paling sedikit 1 kriteria klinik dan 1 kriteria laboratorium.
A.  Diagnosa Klinis
Dalam bidang obstetric sindroma antifosfolipid dapat menimbulkan gejala klinis baik terhadap ibu maupun terhadap janin, seperti :
1.   Keguguguran berulang.4
      Pada SAF sering ditemukan kematian janin pada kehamilan 10-12 minggu.12 Dua penelitian pada wanita hamil dengan antibodi antifosfolipid positif mendapati bahwa angka kejadian keguguran berulang lebih tinggi dari yang negatif. Dibandingkan dengan wanita dengan antikardiolipin negatif maka pada yang positif angka kejadian abortus meningkat 2,6 kali.12,13,22
2.   Preeklampsia
      Kejadian preeklampsia meningkat 6 kali dan juga menyebabkan preeklampsia di bawah usia gestasi 20 minggu.3 Angka kejadian preeklampsia tidak berkurang walaupun diberikan pengobatan dengan kortikosteroid dan aspirin dosis rendah atau heparin dan  aspirin dosis rendah.1 Welsch melaporkan kejadian preeklampsia sebesar 48 % dan pregnancy induced hypertension (PIH) sebesar 40 %.12,23
3.   Vaskulopati desidua.7
      4.   Kejadian trombosis berulang. Infark yang menyebabkan insufisiensi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, fetal distress dan kematian janin dalam kandungan.12,22,23 Angka pertumbuhan janin terhambat meningkat 6 kali disbanding pasien normal atau sebesar 30 %.12,22,23
        5.   Kelahiran prematur
            Kelahiran premature umum terjadi pada pasien dengan sindroma antifosfolipid, mendekati 1/3 pasien yang diterapi.1
     6.    Gangguan hematologi seperti anemia hemolitik dan trombositopenia.8
            Trombositopenia terjadi 30 % dari semua kasus sindroma antifosfolipid.4,23   
     7.    Pada masa nifas dapat timbul demam, infiltrat pulmonum, efusi pleura.22,24




B.  Diagnosa Laboratorium
      Pemeriksaan laboratorium pada SAF ditujukan untuk mendeteksi adanya antikardiolipin dan antikoagulan lupus. Prevalensi kedua antibodi ini berkisar antara 6-73 % pada penderita APS sekunder dengan SLE tergantung tes yang dipakai.26

 B.1  Antikoagulan lupus
               Antikoagulan lupus pertama kali di dapatkan pada penderita lupus eritematosus sistemik. Antibodi ini merupakan suatu imunoglobulin ( Ig G atau Ig M ) yang mempengaruhi beberapa langkah pembekuan tergantung fosfolipid. Nama ini sebetulnya kurang tepat, karena antikoagulan lupus tidak hanya ditemukan pada penderita lupus eritematosus sistemik saja. Antikardiolipin koagulan lupus merupakan anggota keluarga antibody fosfolipid (APA), yang mencakup juga antikardiolipin dan antibody terhadap fosfolipid bermuatan negatif atau netral lainnya.
                        Usaha-usaha untuk mendapatkan standar diagnosis antikoagulan lupus telah banyak dilakukan, namun sampai saat ini belum ada satu metodepun yang mampu mendeteksi seluruh antikoagulan lupus. Oleh karenanya dianjurkan pemakaian satu seri pemeriksaan penyaring dan konfirmasi.
                        Triplett merekomendasikan criteria minimal untuk menentukan adanya antikoagulan lupus, sebagai berikut :
1.            Memastikan adanya pemanjangan test-test pembekuan yang tergantung fosfolipid (tes penyaring)
2.            Buktikan bahwa kelainan disebabkan oleh inhibitor, bukan oleh defisiensi (test pencampuran)
3.            Memastikan inhibitor tergantung dengan fosfolipid (tes konfirmasi).

         Test penyaring
Suatu aspek penting pada diagnosis antikoagulan lupus adalah mempersiapkan plasma rendah trombosit melalui; sentrifugasi, filtrasi atau dengan menambahkan kloroform. Sensitifitas beberapa test penyaring berbanding terbalik dengan jumlah trombosit dalam plasma.
                 Prosedur penyaring yang paling banyak digunakan untuk deteksi antikoagulan lupus adlah APTT, KCT, dRVTT dan PCT. Berbeda dengan test-test lainnya, PCT menggunakan plasma segar, dimana jumlah trombosit tidak mempengaruhi sensitifitas terhadap antikoagulan lupus. Jika test pertama mendapatkan nilai normal, kita harus memeriksa setidaknya satu test penyaring lainnya.

Activated Partial Thromboplastin Time
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur intrinsic dan jalur bersama, merupakan prosedur penyaring yang paling banyak digunakan.
            Prinsip pemeriksaan adalah mengukur lamanya terbentuk bekuan bila ke dalam plasma ditambahkan reagen APTT pada suhu 370 C. Nilai normalberkisar antara 20-40 detik, hasil dikatakan memanjang bila didapatkan perbandingan APTT plasma penderita dan plasma kontrol melebihi 1,3.

Kaolin Clotting Time
Merupakan modifikasi dari APTT. Cara ini sangat sensitive terhadap sisa trombosit. MC Hugh menyatakan bahwa KCT merupakan cara yang paling sensitive untuk mendeteksi adanya antikoagulan lupus pada penderita dengan trombosis atau trombositopenia. Sampai saat ini hasil test belum dapat dibaca secara otomatis karena opasitasnya tidak sesuai dengan pembaca foto optik dan analyzer koagulasi. Keterbatasan lainnya adalah ketidakmampuan test ini sebagai prosedur konfirmasi.

Dilute Russel Viver Venom Time
Pemeriksaan ditujukan untuk melihat kelainan faktor V dan faktor X. Test ini dilakukan dengan menambahkan sejumlah reagen pada plasma rendah trombosit. Lamanya terbentuk bekuan diukur setelah penambahan larutan ion kalsium satu menit setelahnya. Hasilnya dikatakan memanjang bila lamanya terbentuk bekuan > 2 SD di atas nilai normal.
            Cara ini dipakai sebagai prosedur penyaring dan konfirmasi dengan hasil yang sama baiknya. Hasil test ini dipengaruhi sejumlah faktor,seperti sumber fosfolipid, komponen russel viver venom dan pembacaannya yang belum otomatis.

Tissue Thromboplastin Inhibition Test
Test ini mengevaluasi reaksi pembekuan yang melibatkan faktor VII a dan X a. Test dikatakan memanjang bila perbandingan waktu pembekuan penderita dengan populasi normal melebihi 1,3.

Textarin Clotting Time
Cara ini pada awalnya hanya digunakan sebagai prosedur konfirmasi. Test ini tergantung dengan adanya ion kalsium dan faktor V.

Indentifikasi Inhibitor
Kelainan yang didapat pada test penyaring harus dibuktikan sebagai suatu inhibitor. Heparin yang dapat memperpanjang waktu pembekuan harus disingkirkan dahulu sebelum dilakukan pencampuran plasma pasien dan plasma normal. Penggunaan Thrombin time atau bahan yang dapat menetralisir heparin dapat mengindentifikasi heparin secara tepat.
Sejumlah variable yang dapat mempengaruhi cara ini mencakup  pemilihan plasma normal, dan plasma pasien, waktu inkubasi dan kontrol yang tepat. Penggunaan campuran plasma pasien dengan plasma normal dengan perbandingan    4 : 1 memberikan hasil yang sangat sensitive jika pada prosedur penyaring hanya didapat perpanjangan minimal.
Kegagalan untuk mengkoreksi perpanjangan waktu pada prosedur penyaring, jika plasma pasien dicampur dengan plasma normal menujukan adanya inhibitor.

Prosedur Konfirmasi
Adanya inhibitor pada prosedur terdahulu harus dibuktikan ketergantungannya pada fosfolipid. Manisfestasi klinis berupa pendarahan cenderumg dihubungkan dengan inhibitor yang spesifik, sedangkan antikoagulan lupus lebih banyak dihubungkan dengan trombosis. Secara laboratoris, ketergantungan ini dapat diperlihatkan dengan test-test yang menonjolkan pengaruh inhibitor dengan pengurangan jumlah fosfolipid atau dengan test yang menetralisasi pengaruh inhibitor dengan memakai fosfolipid yang tinggi.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan adanya antikoagulan lupus bila dijumpai :
1.            Pemanjangan test-test pembekuan yang tergantung fosfolipid, seperti APTT, KCT, dAPTT, atau dRVTT.
2.            Waktu pembekuan tetap memanjang meskipun dicampur dengan plasma normal.
3.            Aksentuasi efek inhibitor jika fosfolipid dikurangi atau netralisasi efek inhibitor jika fosfolipid di tingkatkan.

B.2. Antibodi Antikardiolipin26
Antibodi antikardiolipin dapat dideteksi dalam serum maupun plasma, mulanya antibodi ini dianggap sama dengan antikoagulan lupus. Keberhasilan pemisahan ACA dan LA pada plasma yang sama menunjukan bahwa kedua antibody tersebut berbeda satu dengan lainnya.
  Penderita dengan antibody antikardiolipin yang positif sering menunjukan hasil positif pada test VDRL. Hasil positif dimungkinkan karena reagen VDRL mengandung kardiolipin disamping kolesterol dan lesitin.1
                Untuk memudahkan penentuan adanya antibodi antifosfolipid, dianjurkan melakukan pemeriksaan antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus secara bersamaan. Pada pemeriksaan antibody antikardiolipin, perlu ditentukan isotipe-nya (Ig G, Ig M, Ig A). Alasan penentuan isotipe pada antibody antikardiolipin adalah penemuan beberapa studi bahwa isotipe Ig G adalah predictor utama terjadinya trombosis dan kehilangan kehamilan.
          Aktivitas antibody antikardiolipin dinyatakan dalam satuan GPL unit/ml dan MPL unit/ml. Hasil dikatakan positif bila kadar ACA > 2 SD di atas nilai rata-rata Ig G atau Ig M orang sehat, positif ringan bila kadar GPL 5-15 unit dan MPL 3-6 unit, sedangkan bila kadar GPL 15-80 unit atau MPL 6-50 unit, positif kuat bila kadar GPL > 80 unit dan MPL > 50 unit.
    Keuntungan metode ini antara lain : dapat digunakannya serum yang beku, pemakaian volume serum yang kecil, kemampuan untuk mentukan titer antibodi, mampu menentukan isotipe serta hasilnya tidak tidak dipengaruhi oleh pengobatan antikoagulan. Perbedaan hasil mungkin disebabkan oleh pemakaian sera antikardiolipin yang berbeda, perbedaan bahan serum (segar atau beku), perbedaan temperatur, lamanya waktu inkubasi, perbedaan isotipe atau terdapatnya bahan-bahan non anion.

V.PENATALAKSANAAN SINDROMA ANTIFOSFOLIPID PADA KEHAMILAN

      Mengingat begitu banyaknya komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh sindroma antifosfolipid sebelum, selama kehamilan bahkan sesudah melahirkan baik masalah morbiditas bahkan mortalitas, maka pasien dengan sindroma antifosfolipid ini perlu mendapatkan penangan khusus. Pasien dengan masalah infertilitas pasti sangat mengharapkan kehamilan yang sudah terjadi kali ini dapat berlangsung sampai dilahirkan bayi yang sehat.
               Idealnya seorang wanita dengan sindroma antifosfolipid harus mendapatkan bimbingan dan pemeriksaan sebelum kehamilannya.11,12 Riwayat obstetric harus didata secara jelas. Pemeriksaan antibody antifosfolipid dianggap perlu diperiksa jika sudah terjadi jika sudah terjadi keguguran berulang 2 atau 3 kali berturut-turut pada trimester pertama kehamilan atau terjadi kematian janin dalam kandungan pada trimester ke- II atau ke- III, karena keguguran spontan pada trimester pertama kehamilan dianggap umum pada populasi normal.13 Dokter harus dapat menjelaskan kemungkinan apa saja yang dapat terjadi pada ibu dan janin seperti resiko terjadinya trombosis atau stroke, keguguran preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat dan kelahiran premature.13 Di saat ini juga dokter akan menjelaskan rencana pengobatan terhadap ibu.1211 Sehubungan bahwa kehamilan dengan sindroma antifosfolipid merupakan kehamilan resiko tinggi maka perlu juga pengawasan dari berbagai disiplin ilmu seperti perinatologi/neonataologi,obstetric,rematologi dan internis.
               Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk penatalaksanaan penderita sindrom antibody antifosfolipid selama dan sesudah kehamilan adalah sebagai berikut :
A.  Pemeriksaan Laboratorium
Pada kehamilan awal, semua pasien harus diperiksa untuk menemukan jika ada kelainan seperti anemia, trombositopenia dan penyakit lainnya yang menyertai seperti urinalisa, kreatinin serum, klirens kreatinin urine 24 jam dan kadar protein total.12 Jika diagnosa sindroma antifosfolipid sudah ditegakan maka tidak diperlukan lagi pemeriksaan serial kadar antibody antifosfolipid karena tidak bermakna.12,14Pada pasien yang mendapat terapi heparin perlu dimonitor efek antitrombotik yang diharapkan yaitu mempertahankan PTT 1,2-1,5 kali nilai standar.12

B.  Kunjungan Antenatal dan Pemeriksaan Kesejahteraan Janin
Pada trimester pertama dan kedua, pasien harus memeriksa kehamilannya (ANC) setiap dua minggu dan kemudian tiap minggu pada trimester ketiga.12 Tujuan kunjungan antenatal yang lebih sering ini adalah untuk segera menemukan tanda pertumbuhan janin terhambat yaitu bila didapati tinggi fundus uteri lebih kecil dari yang diharapkan.           
Pemeriksaan ultrasonografi dianjurkan setiap 4-6 minggu mulai dari usia kehamilan 18-20 minggu.1212 Jika penderita tidak mempunyai komplikasi lain maka pemeriksaan ultrasonografi boleh dimulai pada usia gestasi 30-32 minggu.
Tehnik ultrasonografi yang maju menggunakan velosimetri Doppler yang dapat melihat rasio sistolik diastolic arus umbilicus (SDAU). Jika didapati SDAU meninggi berartisudah terjadi resistensi vaskuler plasenta, terlebih jika didapati arus diastolic rendah atau tidak ada bahkan berbalik maka kemungkinan terjadinya kematian janin intra uterine menjadi sangat tinggi dan sebelum ini terjadi maka kehamilan tersebut indikasi kuat untuk di terminasi.9,11
Pasien juga dipesan untuk segera melapor jika terjadi gejala trombosis, tromboemboli, transient ischemic attack atau amaurosis fugas. Karena itu pasien perlu diajarkan gejala setiap keaadan tersebut.

C.     Pengobatan Medikamentosa
            Menurut Michele petri pasien hamil dengan antibody antikardiolipin dan antikoagulan lupus yang tidak mempunyai riwayat kegagalan kehamilan, tidak memerlukan terapi.13 Jika kadar antibody antifosfolipidnya tinggi dapat diberikan aspirin dosis rendah setiap hari.15,16
       Pada umumnya terapi yang diberikan adalah pada saat prekonsepsi yaitu aspirin dosis rendah tetap sebesar 81 mg/hari.16 Terapi aspirin ini dimulai segera setelah terjadinya keguguran berulang, trombosis atau pasien mengharapkan untuk hamil berikutnya.16,17 Segera setelah terjadinya konsepsi atau jika denyut jantung sudah terdeteksi dengan USG17 mulai diberikan heparin pocine (UFH) subkutan dengan dosis rendah tetap sebesar 5000 unit setiap 12 jam sampai mendapat nilai PTT 1,2-1,5 nilai standar atau INR diatas 2,6.13,14,16,17 Semua pengobatan dihentikan kalau terjadi keguguran atau kehamilan mencapai usia 34 minggu.17 Pernah dilaporkan efek antikoagulan yang persisten pada saat persalinan yang berakhir sampai 28 jam.13
                   Pada pemberian heparin jangka panjang (> 1 bulan), pasien diberikan suplementasi 1500-2000 gram kalsium karbonat untuk mengurangi efek osteoporotik, vitamin D (dalam vitamin prenatal), olahraga ringan 1 jam perhari seperti berjalan, jogging atau aerobik ringan.13,16

      D.  Masa Nifas dan Setelahnya
            Setelah melahirkan pemberian antikoagulan oral dianjurkan dimulai lagi 1-2 minggu post partum1818 Heparin aman diberikan pada ibu menyusui karena tidak disekresikan pada ASI sementara warfarin juga tidak menginduksi efek antikoagulan pada bayi yang menyusui.19 Pasien juga diajarkan gaya hidup sehat dengan mempertahankan berat badan ideal, kadar kolesterol rendah, aktivitas fisik, tekanan darah terkontrol dan tidak merokok.13 sementara suatu penelitian lain menganggap pemberian heparin perlu diberikan terus sampai 1 bulan post partum saja.
                   Menurut penelitian Roseve dan Brewer, pasien yang diterapi warfarin memberikan hasil yang lebih baik dari terapi aspirin atau tidak diterapi dan trombosis tidak akan berulang jika International Normalized Ratio (INR)
            mempertahankan diatas 2,6.13 Derksen dkk melakukan studi retrospektif dan mendapatkan data bahwa pasien yang mendapat terapi antikoagulan 8 tahun memiliki kemungkinan 100 % untuk rekuren sementara jika terapi dihentikan maka 50 % akan terjadi lagi pada 2 tahun dan 78 % akan terjadi lagi pada 8 tahun.13 Dari studi retrospektif oleh Khamastha dkk dari group Hughes dicatat dari 147 pasien SAF, sebanyak 69 % nya mengalami trombosis ulang baik arteri maupun vena dan waktu rata-rata terjadinya adalah 12 bulan.13 Jika diterapi warfarin secara intensif (INR>3) dengan atau tanpa aspirin dosis rendah untuk prevensi adalah lebih efektif dibandingkan dengan warfarin dosis rendah.13
                     Suatu penelitian menganggap pemberian heparin perlu tetap diberikan sampai 1 bulan post partum.18 Dallas / Fort Worth Metroflex1,3  Mengajukan suatu protokol untuk recurrent miscarriage syndrome  yang berhubungan dengan efek trombosit atau protein darah. Dari 149 pasien yang mengikuti protocol ini 98 % berhasil mencapai persalinan aterm normal. Protokol tersebut adalah sebagai berikut :
            Pengobatan selama kehamilan
·               Aspirin :  81 mg per hari, dimulai pada saat kehamilan dimulai
·               Porscine heparin : 5000 unit subkutan setiap 12 jam segera setelah kehamilan ( diberikan bersama aspirin setelah kehamilan aterm )
·               Kalsium : 500 mg per oral per hari
·               Vitamin prenatal
·               Tablet besi : 1 tablet per hari
·               Asam folat : 1 mg per oral per hari
Pemeriksaan laboratorium
·               Pemeriksaan darah lengkap / jumlah trombosit dan kadar heparin setiap minggu untuk 4 minggu berturut-turut dilanjutkan 1 kali perbulan sampai kehamilan aterm
·               Pemeriksaan ultrasonografi teratur sampai aterm
·               Catatan gerak janin setiap hari setelah kehamilan 28 minggu
·               Pemeriksaan biofisik janin dan pemeriksaan arus darah umbilicus dengan Doppler saat kehamilan 32,34,36,dan 38 minggu
     Terminasi kehamilan bila tidak ada komplikasi dapat dilakukan pada kehamilan 37 minggu atau bila ada komplikasi dapat diterminasi pada kehamilan 34 minggu atau kurang.26




 VI.      RINGKASAN
Penyebab terbanyak kegagalan kehamilan berulang adalah gangguan prokoagulasi darah dimana yang paling tinggi insidensinya adalah oleh sindroma antifosfolipid. Diagnosis SAF ditegakan apabila terdapat minimal 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratories. Pada wanita hamil dengan SAF sebaiknya diberikan pengobatan kombinasi aspirin dosis rendah dan heparin. 
            Terminasi kehamilan bila tidak ada komplikasi dapat dilakukan pada kehamilan 37 minggu atau bila ada komplikasi dapat diterminasi pada kehamilan 34 minggu atau kurang.

VII.    RUJUKAN
1.      Bick RL. Recurrent miscarriage syndrome and infertility caused by blood coagulation protein or platelet defects. Hem Clin N Am 2000; 13(5)
2.      Pattison NS, Chamley LW, Birddsll mary et al. Does aspirin have a role in improving pregnancy outcome for woman with the recurrent miscarriage syndromeA randomized controlled trial. Am J Obstet gynecol 2000; 183(4)
3.      Bick RL. Recurrent miscarriage syndrome due to blood coagulation protein or platelet defects: Prevalence, treatment and outcome results. Clin Appl thrmbosis/hemostasis. 2000; 6(3):115-125
4.      Hill MB, Philips JL, Hughes P et al. Antikardiolipin-endothelial Cell Antibodies in Primary Antifosfolipid Syndrome and SLE. Be J Haematol 1998 Nov;103(2): 416-21
5.       Bick RL, Kapland Harold. Current Concept of Thrombosis Prevalent Trends for Diagnosis and Management. Med Clin N am 1998; 82(3) : 409-446
6.      Bick RL. The Antiphospholipid Thrombosis Syndromes: A Common Multidiciplinary Medical Problem. Clin Appl Thrombosis/Hemostasis 1997; 3(4) : 270-283
7.      Rand JH, WU XIAO Xuan, Andree HAM et al. Pregnancy loss in Tha Antiphospholipid Antibodies syndrome-A possible Thrombogenic Mechanism. N Eng J Med 1997 ; 337: 154-160
8.      Cunningham FG, Mc Donald PC< Gant NF. William Obstetrics, 20th ed. Appleton & Lange, 1997, P 1244-47
9.      Giles WB. Vascular Doppler Techniques in Antepartum and Intrapartum Fetal Assesment. Obstet Gynecol Clin 1999; 26(4): 595-603
10.  Witjaksono Julianto. Manajemen Kehamilan dengan Antifosfolipid dalam Symposium Thrombosis in Pregnancy. 2001. Jakarta
11.  Mascola. Rheumatic Diseases. Med Clin N Am 1997; 23 : 125-130
12.  Welsch Suzenne, Branch DW. Pregnancy and Rheumatic Diseases, Antiphospholipid Syndrome in Pregnancy. Rheum Dis Clin N Am 1997; 23(1) : 71-84
13.  Petri Michelle, Pathogenesis and Treatment of the Antiphospholipid Antibody Syndrome. Med Clin N Am 1997; 81(1) : 151-167
14.  Hill JA. Postconception Monitoring in Recurrent Prenancy Loss-Part II. Ryan : Kistner’s Gynecology & Women Health, 7th 1999, Mosby Inc, p 409-416
15.  Koopman. Arthritis and Allied Conditions. 13th 1997 William & Wilkuns, page 1401-1402
16.  Ginsberg JS, Hirsch Jack. Fifth ACCP Consensus Conference on Antithrombotic Therapy Chest 1998, 114(5) : 524-529
17.  Backos M, Rai R, Baxter N et al. Pregnancy Complications in Women with Recurrent Miscarriage Associated with Antiphospholipid Antibodies Treated with Low Dose Aspirin and Heparin. Br J Obstet Gynaecol 1999 Feb; 102(2): 102-107
18.  Daskalikis G, Antsaklis A, Papageorgiou I et al. Thrombosis Prophylaxis after Treatment during Pregnancy. Eur J Obstet Gynaecol Repro Biol 1997 Aug;74(2) :165-167
19.  Cowchock S, Treatment of  Antiphospholipid Syndrome in Pregnancy. Lupus 1998; Suppl 2: S 95-97
20.  De Loughery TG. Antiphopholipid Antibody Syndrome. 1999
21.  Wilson WA, Gharavi AE, Koike Takao. International Concensus statement on Preliminery Classification Criteria for Definite Antiphospholipid Syndrome. Arth Rheu 1999; 42(7) : 1309-1311
22.  Gan Sulistia, Setiabudi R; Syamsudin U et al. Farmakologi dan Therapi. Ed 3. Bagian Farmakologi FKUI. 1987. Hal 675-687
23.  Di Simone N, Calindro D, Castellani R et al. Low Molekular Weight Heparin Restore Invitro Throphoblast Invasiveness and Differentiation in Presence of Immunoglobulin g Fractions Obtained from Patients with Antiphospholipid Syndrome. Hum Refrod 1999; 14(2): 489 – 495
24.  Brey RL, Coull Bm, Antiphospholipid antibodies : Origin, Specificity and Mechanism of Action. Stroke 1992; 23(supp I) : I.15-I.18
25.  Tambunan KL, Antiphospholipid Syndrome. Makalah lengkap symposium pada KOGI X, Bali 2000; 1-10
26.  Syamsuri AK, Konferensi Kerja PERALUMNI V Palembang 2003; 75-82........